 |
Photo from Google |
Pengantin Juli
Seorang bocah ingusan menangis sejadi-jadinya, ketika sebuah gundukan tanah yang baru jadi diinjak-injak oleh tiga lelaki bercapil. Seorang wanita, sepertinya ibu anak itu, menarik si bocah keluar dari kerumunan orang yang bergerombol seperti kawanan semut. Serentetan sumpah serapah ia ucapkan sebelum akhirnya ia meludahi gundukan tanah, lalu menyeret si bocah pulang ke rumah.
§§§
Keringat orang-orang yang berlalu-lalang di jalan setapak penuh kerikil itu berkilau sama seperti embun yang membasahi rumput di pagi hari. Sesekali kulihat mereka berhenti, mengelap peluh dengan ujung lengan atau dengan punggung tangan saja, lalu terus berjalan menjinjing ember-ember besar di kedua tangan. Sama seperti aku sekarang ini. Ember bekas tempat petis udang yang sudah kucuci telah kuisi dengan air dan kini kujinjing bergantian dengan Dirman.
Perjalanan lebih empat kilo yang telah kutempuh tadi hanya terganti dengan seember air yang seringnya tinggal separuh, karena kaki Dirman puas tersandung batu. Pernah malah, setelah lebih setengah perjalanan, Dirman tersandung sampai jatuh tersungkur. Genggamannya pada tangkai ember terlepas, isinya tumpah ruah ke tanah. Beberapa orang yang lewat sangat menyayangkan kejadian itu, beberapa lagi dengan riang tertawa melihat sialnya nasib kami.
Tapi, kali ini tidak. Air di ember masih penuh. Dirman dan aku berhasil melewati jalan terjal yang tak pernah tersentuh aspal. Begitu kami sampai di rumah, air coklat itu langsung diusung ibunya Dirman ke dapur. Separuh untuk dijerang, sisanya disimpan dalam drum sebagai persediaan kalau-kalau sumber air mati suatu saat nanti.
Berbulan-bulan desa kami tak kedatangan hujan. Petani sudah tak peduli lagi pada sawahnya. Dibiarkan kering dan terlantar begitu saja. Sawah yang dulu membikin hijau desa kami, kini jadi tempat bermain anak-anak. Tiap siang, layang-layang aneka warna berserakan di langit. Menjelang petang, langit baru biru kembali. Tak pernah hujan membuat tanah retak-retak. Hanya alang-alang yang memenuhi tanah-tanah kering. Lainnya mati.
Kusisir rambutku agar rapi kembali dan sedikit jelantah membuatnya mengkilat. Untungnya tak pernah pemerintah membuat peraturan yang aneh-aneh, seperti misalnya melarang orang setengah botak bersisir. Tak seperti ibunya Dirman yang selalu saja melarangku menggunakan jelantahnya, sekalipun yang sudah hitam dan bau ikan.
Saat enak-enakan mengagumi perwujudan sendiri di depan cermin, terdengar teriakan dari rumah sebelah. Tutup telinga pun aku masih bisa mendengar percakapan pasangan suami-istri itu dari balik dinding bambu.
“Pak, jangan lesehan terus! Ambil air sana! Lumbung kita akan tetap kosong kalau kau tak tanam padi.”
“Untuk minum saja air susah, Bu! Lagipula sawah terlanjur kering, tunggu hujan saja.”
“Nunggu sampai gundulmu tumbuh rambut? Si Asep sudah kurus, Pak! Kurang makan.”
Selanjutnya maki-makian dan suara benda pecah membuatku risih untuk terus menguping. Kudatangi saja Dirman yang sedang menjeboli ubi di belakang rumah. Sungguh, kemarau tahun ini benar-benar kejam. Bahkan, ubi jebolan Dirman untuk makan sehari-hari itu pun tak ada lebih besar dari kepalan tangan bayi. Dirman tersenyum kecut saat menunjukkan ubi jatah makan hari ini padaku. Aku pun menanggapinya dengan memamerkan gigi depanku yang sudah hilang tiga.
§§§
Kartono, pemuda tanggung penuh jerawat di pipinya, yang biasa digaji untuk menyampaikan berita, mendatangi rumah ibunya Dirman petang itu. Dia mengabarkan bahwa Seruni mau kawin dan kami sekeluarga diundang ke pesta kawinannya. Tiba-tiba perutku terasa melilit, kepala pun berkunang-kunang. Tak percaya kalau kembang desa pujaan hatiku akan jadi istri orang. Sekelilingku berubah gelap, hanya sekejap kulihat wajah panik Dirman mendekati wajahku. Setelah itu, menurut yang kudengar setelah aku sadar, aku pingsan selama dua jam.
Pingsan karena gadis belahan jiwa segera dikawin orang itu sungguh memalukan. Setidaknya menurut pandanganku sendiri. Tapi mungkin lain lagi, dengan apa yang dikatakan mantri desa pada ibunya Dirman. Dia bilang aku telat makan, atau lebih tepatnya lagi kurang makan, hingga aku pingsan tak sadarkan diri.
Dirman yang terus menungguiku tersedu-sedan sambil tak henti-hentinya berkata, “Jangan mati. Jangan mati.” Hatiku terenyuh. Bocah sepolos Dirman saja mengerti artinya mati. Sedang aku, dengan kurang ajarnya malah mendamba seorang gadis tanpa ingat umur.
Dua hari lagi pesta perkawinannya Seruni. Awalnya, ibunya si Dirman melarang untuk pergi kesana. Alasannya, zaman susah begini jangan buang-buang uang hanya untuk mengisi kendi orang. Dia yang punya hajat, kenapa harus kita yang rugi, begitu katanya. Tapi begitu tahu kalau Tuan Tanah yang punya hajat, wanita berkonde itu langsung menyetrika bajunya yang paling bagus. Sungkan sama Tuan Tanah kalau nggak datang, ujarnya. Tapi aku tahu, dia ingin datang ke pesta Tuan Tanah karena berharap dapat makan.
Lelaki yang beruntung mendapatkan Seruni adalah Tuan Tanah, orang terkaya di desa kami. Tanahnya tersebar dimana-mana. Hampir seluruh tanah di desa adalah miliknya, termasuk tanah tempat rumah ibunya Dirman berdiri. Pasti banyak yang iri sama Tuan Tanah. Sudah bau tanah begitu masih ada saja dewi cantik yang mau jadi istrinya, masih gadis lagi. Asal tahu saja, Tuan Tanah itu sudah punya istri sah dan anak yang sah pula. Tapi memang dasarnya lelaki, tak cukup hanya dengan satu istri.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Belum subuh sudah kubangunkan Dirman, agar segera mandi, lalu melihat bagaimana Seruni dirias. Tak dapat kubayangkan cantiknya calon pengantin itu bila sudah didempul nanti. Setengah tujuh lewat, Dirman terengah-engah mendatangiku, mengabarkan kalau Seruni yang dirias di tengah-tengah padang ilalang, berubah jadi dewi. Aku ikut riang mendengarnya. Tak sabar hati menanti saat melihat gadis ayu itu dengan mata kepala sendiri. Walaupun dia jadi milik orang, toh aku masih bisa melihat ayunya, pun menggenggam tangannya saat bersalaman nanti.
Sedikit heran terbersit di pikirku. Kenapa gadis seayu itu, yang dipersunting orang kaya pula, dirias di tengah pucuk-pucuk ilalang. Apakah tak gatal-gatal nantinya? Atau memang tren zaman sekarang seperti itu? Seperti yang pernah kudengar di radio, ‘back to nature’? Sampai surya hampir di atas kepala, aku masih tak menemukan jawabannya.
Kukenakan batikku yang paling bagus. Hasil batikan ibunya Dirman sewaktu masih gadis dulu. Sedikit bau apek, tapi kusiasati dengan minyak ramuan yang kubeli dari Babah di pasar. Ibunya Dirman berkebaya ungu muda, kontras dengan kulit coklatnya. Dirman sendiri memakai baju main, karena baju terbagusnya ya cuma itu.
Tetangga-tetangga berbondong-bondong menuju tempat hajatan. Sepertinya seluruh desa ingin menjadi saksi pernikahan Seruni dan Tuan Tanah. Mungkin juga karena mereka mau cari makan. Pesta Tuan Tanah pasti mewah. Berbakul-bakul nasi dengan asap yang masih mengepul pasti tersedia, lengkap dengan kambing gulingnya.
Penuh semangat aku bergandengan dengan Dirman. Meskipun ibunya Dirman sudah melarangku agar tak ikut ke pesta itu, tapi aku memaksa. Aku ingin melihat Seruni yang berubah menjadi dewi. Kepalaku berkunang lagi, tapi kututup-tutupi dengan cara terus tersenyum.
Rombongan dari desa menembusi hutan. Sebagian orang membabati alang-alang yang membandel yang menghalangi jalan kami. Tuan Tanah memang buat pesta di tanahnya, tapi tanahnya yang di tengah hutan, yang dikelilingi alang-alang. Tanah yang kami injaki kering, gersang, retak-retak, dan lubang-lubang.
Peluh membasahi tubuh orang-orang desa. Mereka jauh-jauh ke hutan untuk cari makan, karena lumbung tak lagi terisi padi. Musim paceklik kali ini, beras susah didapat, adapun selangit harganya.
§§§
Sampai disana kulihat Seruni memang seperti dewi, tapi yang lagi sendu. Mungkin hatinya pilu, karena tampak olehnya raut para undangan yang tak pada bersenang hati atas pestanya. Wajah-wajah pucat menghiasi pesta. Pesta perkawinan yang tanpa suguhan.
Sudah lewat waktunya makan siang, tapi hidangan barang serpihan kue pun tak terlihat. Adapun yang kulihat malah senyuman Tuan Tanah. Pipinya yang bulat memerah seperti tomat yang kena sinar matahari. Senyum lebar yang berlebihan itu malah membuatnya tampak tak wajar.
Lama-lama, setelah kupikir-pikir, akhirnya aku ikut senyum. Lebih lebar dari senyum Tuan Tanah malah. Aku baru sadar kalau kami, penduduk desa, baru saja dibodohi. Si tambun kikir itu tentu saja tak mau rugi. Dia ingin pestanya dihadiri banyak orang, tapi tak mau keluar uang. Dengan menggelar pesta di bulan Juli, Tuan Tanah tak perlu menyuguh tamunya dengan nasi.
Sekarang memang bulan Juli. Musim kemarau dan paceklik. Setanah air mungkin tak ada yang punya padi. Lalu, apa yang mau disuguhkan? Lagi-lagi Tuan Tanah senyum, dapat pengantin di bulan tujuh.
§§§
Ibunya Dirman menangis, Dirman pun ikut menangis melihat ibunya bercucuran air mata. Banyak orang yang tadinya mau marah malah dirundung duka. Salah seorang di antara puluhan bahkan ratusan orang yang tadinya berdiri di atas tanah kering, gersang, retak-retak, dan lubang-lubang itu telah mati.
§§§
Tiba-tiba perutku terasa melilit lagi, kepala berkunang-kunang lagi. Di atas tanah kering aku jatuh tersungkur. Semua undangan panik. Mungkin benar apa kata pak mantri. Aku telat makan, alias kurang makan, hingga aku jatuh tersungkur di atas tanah kering.
Tapi ternyata aku tidak mati, seperti kira orang-orang waktu itu. Setelah berjam-jam pingsan, aku sadar kembali. Tak seorang pun di dekatku, tak terkecuali Dirman. Aku heran melihat orang-orang berkerumun di tempat lain. Setelah kuselidiki, ternyata Tuan Tanah yang mati. Ia mati disengat kalajengking waktu aku pingsan tadi.
Kulihat ibunya Dirman menangis, Dirman pun ikut menangis melihat ibunya bercucuran air mata. Waktu kutanya kenapa ia menangis, ternyata ia teringat suaminya, anakku, yang dulu juga mati karena bisa kalajengking.
Esoknya, Tuan Tanah dimakamkan, diiringi sumpah serapah istrinya yang malah bersyukur suaminya mati. Ia senang melihat suami yang mau memadunya mati. Dengan begitu ia bisa kawin lagi dengan Kartono, pemuda tanggung penuh jerawat di pipinya, yang selama ini jadi brondong simpanannya.
Ya, begitulah dunia. Tiap harinya dipenuhi basa-basi tentang kehidupan manusia yang tak selamanya indah seperti dalam dongeng. Tuan Tanah yang sedang menggelar pesta tiba-tiba mati. Aku yang dikira mati ternyata masih hidup hingga sekarang. Sedangkan Seruni yang masih gadis meskipun sudah janda, baru dua minggu ditinggal suaminya, sekarang sudah kawin lagi dengan juragan kapuk desa seberang.
§§§
 |
Photo from singaporeproposal.com |
“Disuruh nulis cerpen sama guru Bahasa Indonesia pas saya kelas 3 SMA. Karena kebanyakan koleksi cerpen saya ‘remaja banget’, makanya coba-coba nulis dengan bahasa yang sedikit berat. Cerpen Pengantin Juli tentu saja pengembangan dari puisi dengan judul yang sama, Pengantin Juli. Gaya bahasa yang jadul terinspirasi oleh karya-karya angkatan lama. Tapi tetap saja, ciri khas saya banyak terlihat, coba cari.
Sebelumnya, cerpen Pengantin Juli pernah saya ikutkan lomba menulis cerpen yang saya ketahui lewat internet. Tapi, hasil akhir lombanya saya cari dimana-mana nggak ketemu. Beberapa waktu kemudian, jeng… jeng…, ada warning yang saya baca di satu situs, menyatakan bahwa banyak info lomba yang ternyata BOHONG! Kemudian menyebutkan beberapa ciri yang sayangnya sama persis dengan lomba di internet yang saya ikuti. Yah…, harapan saya, semoga cerpen tersebut tidak disalahgunakan.”